Lada hitam kerap disebut sebagai sang ‘Raja Rempah-Rempah’ dan merupakan rempah yang banyak digunakan di seluruh dunia. Di level internasional, Lampung dikenal sebagai daerah penghasil lada hitam terbesar di Indonesia dengan luas area produksi sebesar 45.863 hektar. Ekspor dari komoditas tersebut mencapai $43,33 juta dan mencakup sampai ke 38 negara. Dari 15 kabupaten di Lampung, hanya 3 yang tidak menghasilkan lada hitam. Sebagian besar lahan pertanian dikelola oleh masyarakat, sehingga lada hitam memberikan kontribusi yang sangat penting untuk perekonomian masyarakat. Artikel ini akan menelisik lebih jauh mengenai karakteristik perkebunan lada hitam di Kabupaten Lampung Utara, Lampung Timur, dan Tanggamus.

Karakteristik Pertanian Lada Lampung

Pertanian lada hitam terbesar di Lampung dilakukan di daerah Lampung Utara. Area tersebut memiliki jumlah petani terbanyak dan luas area pertanian sebesar 11.401 hektar, dengan hasil panen rata-rata berumur 4 sampai 11 tahun dan produksi rata-rata 800 sampai dengan 1.100 kg / ha. Lampung Utara memiliki 165 petani lada yang 96,83% diantaranya berada dalam kelompok umur produktif. Hampir setengah dari petani berpendidikan rendah, dimana 26,99% adalah lulusan sekolah menengah atas. Rata-rata lahan yang dimiliki petani adalah 1 ha yang dikelola dengan peralatan tradisional. Petani lebih banyak menggunakan NPK dan pupuk kandang sebagai pupuk utama, dan mengelola HPT dan gulma menggunakan peralatan teknis dibanding pestisida. Petani rata-rata mendiversifikasi tanaman mereka karena lada tidak dapat ditanam sepanjang tahun.

Kabupaten Lampung Timur dan Tanggamus memiliki rata-rata perkebunan lada hitam sebesar 1,57 - 1,6 ha dengan populasi rata-rata 1.330 pohon per ha. Rata-rata umur tanaman adalah >20 tahun dan dibudidayakan secara monokultur dengan kisaran produktivitas 640-800kg / ha. Rata-rata usia petani berada di kisaran 28-35 tahun, dan berpendidikan terakhir sekolah menengah atas. Sikap petani lada sangat bergantung pada harga lada. Kenaikan harga lada menunjukkan peningkatan perhatian para petani terhadap panennya, sedangkan harga yang turun menunjukkan atensi beralih pada produk tani lainnya.

Tantangan Pertanian Lada Lampung

Menurut Karmawati et. al., ilmuwan dari Puslitbang Perkebunan Kementerian Pertanian Indonesia, terdapat beberapa permasalahan kunci yang dihadapi petani lada hitam Lampung. Pertama, tidak adanya kebun utama dan penangkar benih bersertifikasi. Artinya, petani memperoleh benih secara acak dari pertanian produksi dibandingkan dengan mendapatkan bibit yang baik dari daerah pertanian khusus. Bibit yang baik berkisar pada umur 12-24 bulan. Kedua, lahan tani rentan terhadap erosi karena tidak adanya teras, dan pertumbuhan akar sangat terbatas karena minimnya lahan. Ketiga, penggunaan pupuk diminimalisir karena petani mencoba untuk membatasi biaya produksi. Keempat, informasi tentang pembabatan dan pemangkasan tanaman lada masih kurang. Kelima, pengendalian HPT umumnya dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia. Terakhir, fasilitas penjemuran petani pada musim hujan masih terbatas.

SpiceUp: Solusi Digital untuk Petani Lada

SpiceUp membantu mengatasi beberapa tantangan kunci yang dihadapi petani lada di Lampung. Salah satunya, SpiceUp bermitra dengan ondok Pesantren Al-Fatah Al-Muhajirun Lampung untuk mengembangkan demo plot. Di demo plot ini, para petani lada diberi pelatihan mengenai Good Agricultural Practices (GAP), dimana petani memperoleh ilmu mengenai pengelolaan pertanian yang ideal serta pengendalian penyakit dan hama. SpiceUp juga menyajikan informasi penting tentang pengelolaan tani lada melalui aplikasi digitalnya. Aplikasi ini menyediakan artikel mendalam, layanan e-learning, dan sistem manajemen pertanian lada terintegrasi yang memungkinkan petani melacak asal lada dan juga produksi harian mereka secara efisien. Solusi-solusi tersebut memungkinkan para petani untuk meningkatkan manajemen pertanian lada mereka dan mengembangkan pengetahuan untuk memaksimalkan kualitas hasil lada mereka.

Bagikan